dwKOMQi3a4gh8Hee1hY6F_nqDcw Pendidikan Kritis | referensi makalah

Thursday, October 24, 2013

Pendidikan Kritis

Pendidikan Kritis dan Pembebasan
Dua sosok yang seolah menjadi 'dewa' pendidikan kritis ini adalah Paulo freire dan Mansour Faqih. Paulo freire dikenal sebagai pendiri pendidikan kritis ini. 
Paulo Freire is widely considered to be originator of the term ‘Popular Education’. He was involve in adult learning in Latin America in the 1960’s and 70's. He developed a literacy training program which taught students how to read and write through discussion of basic problems. They themselves were individually and collectively experiencing … it is important to note that Freire’s pedagogy (andragogy) developed in particular historical and political circumstance; one of neo-colonialism and imperialism. (Nadien Godkewitsch, 1997)
Semantara Mansour Faqih dikenal sebagai orang yang paling getol mengembangkan model pendidikan ini di Indonesia yang dibantu oleh Roem Topatimasang, Jo Hann tan, Toto Rahardjo dan masih banyak yang lainnya. Didalam buku 'Pendidikan Popular Membangun Kesadara Kritis', ada dua teori pendidikan secara umum yitu teori reproduksi dan teori produksi. Dalam teori reproduksi, pendidikan merupakan alat dominasi yang selalu digunakan demi melangengkan atau melegitimasi dominasi tersebut. Misalnya kalau pemerintah/negara memiliki agenda industrialisasi maka pendidikan harus mensukseskannya dengan programlink and match agar lulusanya bisa bekerja di pabrik-pabrik yang sudah disediakan negara. Sementara teori produksi dalam pendidikan merupakan model pendidikan yang bertujuan untuk membangun kesadaran kritis, kesadaran pekerja yang ditindas oleh pimpinan, orang kaya yang diperbudak harta, orang miskin yang dieksploitasi konglemerat bahkan untuk anak didik yang ditindas oleh negara, model pendidikan yang kedua inilah akar dari pendidikan kritis.
Model pendidikan yang kedua ini lebih merupakan proses pembebasan manusia, yang mengasusmsikan bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. (Faqih, 2001 hal. xi)
Model pendidikan kritis ini memang jelas mengkritik paktek pendidikan konvensional yang cenderung menindas peserta didik. Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan konvensional itu seperti sebuah bank, dimana peserta didik adalah tabungannya sementara guru/fasilitator adalah si penabung. Tabungan tidak pernah komplain diisi berapapun jumlah uang bahkan tidak disipun diam dan patuh. Begitulan anak didik diposisikan oleh fasilitatornya sebagai objek mati
"Here are the following attitudes and practices, which mirror the oppressive society as a whole:  
a) The teacher teaches and the students are taught;
b) The teacher knows everything and the students know nothing;
c) The teacher thinks and the students are thought about;
d) The teacher talks and the students listen-meekly;
e) The teacher disciplines and the students are disciplined;
f) The teacher chooses and enforces his choice, and the students comply;
g) The teacher acts and the students have the illusion of acting through the action of the teacher;
h) The teacher choose the program content, and the students (who were not consulted) adapt to it;
i) The teacher confuse the authority of knowledge with his or her own professional authorities, which she and he set in opposition to the freedom of the students;
j) The teacher is the Subject of learning process, while the students are merely objects;" (Freire, 1993)

Kondisi diatas sering kita jumpai dalam model pendidikan kita khususnya di lembaga pendidikan formal, walaupun tidak semuanya seperti itu. Tapi at least kondisi tersebut gampang kita temukan. Kita bisa membayangkan pendidikan model diatas bukannya mendidik peserta didik tapi justru membungkam kreaktifitas dan kemampuan mereka, rasanya sudah cukup banyak dana yang kita habiskan untuk menghambat peserta didik kita. Dengan demikian pendidikan yang kita harapkan adalah sebuah pendidikan yang membangun akan daya kesadaran kritis peserta didik, atau dikenal dengan pendidikan konsientisasi.      
Asumsi-asusmi Dasar Pendidikan Kritis
Asumsi dasar merupakan paradigma akan sesuatu demikian pula pendidikan kritis. Artinya dengan memahami asumsi dasar pendidikan kritis maka siapapun berhak untuk mengatakan bahwa sebuah proses pendidikan disebut sebagai pendidikan kritis atau tidak dapat dinilai. 
Fasilitator
Seorang fasilitator dalam Pendidikan kritis adalah seseorang yang memfasilitasi peserta didik untuk mengadakan transformasi didalam masyarakatnya, dari kondisi yang tidak adil menuju ke situasi yang lebih adil. Usaha mentransformasi mengindikasikan bahwa fasilitator paham akan struktur yang menindas dalam masyarakat tersebut dan juga tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk menuju ke kondisi yang lebih baik. Walaupun dalam kenyataannya kadang dan sering peserta didik memiliki strategi yang lebih aplikatif dari pada fasilitator (dan memang seharusnya demikian) tetapi daya sensitifitas fasilitator untuk melihat sebuah kondisi tertentu sebagai kondisi penindasan sepertinya dalam pendidikan kritis menjadi prasarat.
Dengan demikian fasilitator yang memang beraksi lokal tapi harus memiliki wawasan yang global/luas akan perkembangan masyarakat khususnya yang berhubungan dengan paradigma-paradigma sosial. Pendidikan kritis dalam melihat masyarakat biasanya memetakkan dalam 3 paradigma:
Pertama, Paradima Konservatif, yaitu sebuah paradigma yang ketika melihat fenomena ketertindasan dipahami sabagai kondisi yang natural atau memang seharusnya ada  seperti ada malam ada siang, kaya dan miskin, cantik dan jelek, hitam dan putih, gemuk dan kurus, kenyang dan lapar, siswa tidur dan bersemangat, baik dan buruk, penindas dan tertindas, yang terpenting adalah bagaimana menjadi orang kaya/miskin yang baik, cantik/jelek yang baik, hingga penindas/tertidas yang baik.  
Kedua, Paradigma Liberal dalam memandang sistem ketidakadilan dalam masyarakat, mereka berpendapat kondisi tersebut harus diselesaikan dengan memberikan pemberdayaan-pemberdayaan individu yang intent. Misalnya dalam melihat siswa tidur dalam kelas, itu karena siswa males, nggak mau dengerin gurunya semalam begadang, dst. Solusinya siswa diminta untuk berwudhu, dimarahi, dibentak, disuruh keluar atau diberi wejangan nanti kalau kamu terus begini tidak bakalan jadi orang sukses. Dengan demikian kesadaran dan pemberdayaan individu sangat diutamakan karena ditangannya-lah perubahan akan terjadi 
Ketiga Paradigma Kritis, yaitu sebuah cara pandang akan suatu sistem ketidakadilan yang sepintas hampir sama dengan liberal, tetapi bukan individu yang menjadi subjek penting melainkan kesadaran kolektif, karena dalam penindasan itu tidak hanya sekedar hubungan seseorang dengan orang lain atau satu kelompok dengan kelompok lain, tetapi ada sebuh sistem dibalik fenomena ketidakadilan tersebut. Dalam kasus diatas misalnya ngantuknya siswa yang satu tidak hanya terjadi pada dia sendiri tapi juga temennya, tetangga kelasnya baik itu tetangga ruangan, tetangga sekolahan, tetangga kabupaten, tetangga negara bahkan tetangga benua, maksudnya kelas di afrika juga muridnya ngantuk. Disinilah kesadaran kolektif menjadi penting.
Paradigma kritis menjadi pilihan bagi pendidikan kritis karena dalam menyelesaikan permasalahan ketidakadilan, dua pendekatan yang lain cenderung hanya tambal sulam yang tidak akan mampu merubahnya, layaknya seperti seseorang yang setiap minggu pagi mengambili Sampah yang didamparkan di sungai dan mengurusinya hingga besar, dan Sampah itu tidak habis-habis, karena mereka tidak paham dan tahu siapa dan kenapa Sampah-Sampah itu selalu dihanyutkan dalam setiap minggu pagi. Lain halnya dengan kyai kritis atau pendidik kritis memang mereka mengurusi Sampah itu juga tapi mereka juga mencari apa, siapa saja, kenapa, bagaimana fenomena ini bisa terjadi, ada budaya apa dibalik ini, dan seterusnya. 
Metode
Pendidikan kritis mensyaratkan metode pembelajaran yang demokratis yaitu dari, oleh dan untuk peserta didik. 'Dari'  artinya proses pembelajaran terjadi karena peserta didik mengalami proses penindasan baik disadari atau tidak. 'Oleh' artinya peserta didiklah yang menganalisa masalah yang mereka hadapi kemudian menyimpulkan dan melakukan aksi untuk merubah dirinya, yang tentunya difasilitasi oleh fasilitator. Dan 'untuk' artinya proses pembelajaran itu hanyalah untuk menyelesaikan permasalahan yang meraka miliki.
Dengan demikian pendidikan kritis sebenarnya lebih condong menanggapai pertanyaan dan menyelesaikan masalah peserta didik dibanding  mencari kebenaran objektif yang ilmiyah tapi malah tidak dapt menyelesaikan sistem penindasan tersebut. Sementara hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode pendidikan kritis diantaranya adanya hubungan yang horizontal antara fasilitator dengan peserta didik. Artinya adanya dialog dua arah, inter-komunikasi, yang beimplikasi pada empati, cinta, saling percaya, dan kritis (shor, 1980) hal ini sangat penting agar tidak ada indoktrinasi untuk kepentingan pembebasan. Pemberian nasehat, ceramah khotbah, pidato, fenomena itu dikenal dengan membebaskan dengan cara menindas. Dibawah ini dijelaskan bagaimana metode dan paradigma mengadakan kolaborasi hingga dapat menyimpulkan apakah implikasinya berbentuk pembelajaran yang magis, naif atau kritis. 
081211_model1
Model Mansour Faqih dengan 5 tahapan yang tak henti-henti berputar, yaitu 
         
081211_model2

        
Tahap 1: Melakukan
Proses selalu dimulai dari pengalaman dengan cara melakukan langsung kegiatan. Peserta didik terlibat, bertindak dan berperilaku dengan mengikuti pola yang telah disepakati. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat atau mengatakan sesuatu. Pengalaman inilah yang menjadi titik tolak proses selanjutnya. Namun demikian melakukan itu juga bisa berupa appersepsi akan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki peserta didik

Tahap 2: Mengungkapkan Data
Proses berikutnya yakni peserta didik mengungkapkan dengan cara menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya dan tanggapan atau kesan mereka atas pengalaman tersebut. Ada beberapa model pertanyaan yang bisa dilakukan pada tahap ini
 Pertanyaan memancing, ‘Cobalah anda ceritakan apa terjadi, apa yang ada biasa lakukan?’setelash partisipan menjelaskan pengalamannya maka fasilitator seharusnya mengejar infomasi tersebut terus menerus misalnya dengan menanyakan ‘apa itu? Dimana itu terjadi?, kapan?, dengan siapa?, siapa saja yang ada disitu? apakah ada hubungannya dengan...? apa yang sebenarnya terjadi?, dan seterusnya. Usahakan hindari pertanyaan-pertanyaan dengan kata-kata kenapa, dan bagaimana, karena tahapan ini masih dalam tahap explorasi. Ingat jauhi sejauh-jauhnya pertnyaan yang mematikan explorasi misalnya, ‘pasti yang kau maksud ini.. bener kan? Kalau ibu begitu maka ibu akan ..?’ 

Tahap 3: Analisa 
Dalam tahapan ini setelah mendapatkan data yang lengkap dari peserta didik dan merumuskan kedalam Need Assessment maka barulah fasilitator memberikan model-model pertanyaan sebagi berikut; Mengapa hal itu bisa terjadi?, apa yang dilakukan saat itu?, bagaiaman kalau ditinggalkan saja kejadian itu? Apa yang terjadi jika...? coba bisa bandingkan kalau..? kalau sandainya terjadi begini apa yang terjadi...? dan masih banyak pertanyaan analitik lainnyaSetelah seluruh pertanyaan itu terjawab dengan baik maka fasilitator bersama peserta didik membuat planning bersama apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan masalah ini, planning inilah yang akan diejawentahkan dalam tahapan selanjutnya.

Tahap 4: Kesimpulan 
Proses berikutnya yakni keharusan untuk mengembangkan atau merumuskan prinsip-prinsip berupa kesimpulan umum (generalisasi) dari pengalaman tersebut. Menyatakan apa yang telah dialami dan dipelajari dengan cara seperti ini akan membantu peserta didik untuk merumuskan, merinci dan memperjelas hal-hal yang telah dipelajari. 

Tahap 5: Menerapkan
Langkah terakhir dalam daur ini adalah melakukan perencanaan untuk menterapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan dari pengalaman sebelumnya.



No comments:

Post a Comment