Pendidikan Yang Membebaskan
Mansour Fakih
Mansour Fakih
Ada pandangan yang kuat dikalangan para pendidik radikal, bahwa pendidikan ataupun penyelenggaraan proses belajar-mengajar, diantaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sitem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa pendidikan bagi aparatus dominasi selalu digunakan demi melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakekat pendidikan bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainya. Pandangan semacam itu dikenal dengan teori reproduksi dalam pendidikan. Berbeda dengan pandangan maupun teori “reproduksi” dalam pendidikan tersebut, ada pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidik radikal yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender maupun kesadaran kritis lainnya.
Pandangan kedua inilah yang dianut oleh sekelompok fasiltator yang menysusun buku refleksi ini. Oleh karena itu, pendidikan bagi kelompok kedua ini lebih merupakan proses pembebasan manusia.
Pendirian mereka berangkat dari asumsi, bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu sarana untuk “memproduksi” kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasarat upaya untuk pembebasan. Buku ini, merupkan kompilasi dari refleksi pengalaman para pendidik dan fasilitator aliran yang kedua, yakni mereka yang percaya bahwa tugas pendidikan adalah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan. Oleh karena itu buku ini tidak ditulis berdasarkan hasil pemikiran belaka, melainkan suatu hasil refleksi dari pengalaman mengembangkan praktek “pendidikan popular” dari para fasilitator dalam jaringan INSIST. Oleh karena itu juga buku ini memuat tidak saja refleksi teoritik proses belajar yang dianut oleh para fasilitator yang mengkompilasi buku ini, namun juga memuat pengalaman berbagai penerapan metode pelatihan serta implikasinya terhadap berbagai teknik dalam penyelenggaraan proses belajar. Itulah makanya dalam buku ini banyak dibahas dan dimuat contoh berbagai teknik dan media dari proses belajar yang membebaskan. Dengan begitu buku ini selain merupakan refleksi teoritik dan ideologis tentang pemikiran pendidikan, ia juga merupakan hasil kompilasi dokumen teknis pelatihan yang dapat digunakan oleh para pembaca untuk memfasilitasi proses belajar di tengah masyarakat. Sungguhpun demikian, buku ini bukanlah suatu buku panduan pelatihan (training manual), dan memang para penulisnya tidak bermaksud untuk merancang dan menulis buku panduan pelatihan.
Pendidikan untuk resistensi terhadap dominasi dan penindasan.
Bagaimana proses pembebasan dan proses belajar untuk membangkitkan kesadaran kritis dan pembebasan dilakukan? Para fasilitator dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada metode ketika proses belajar diselenggarakan. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistim sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu, proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan . Dalam era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis. Strategi umumnya fasilitator lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya Neoliberalisme. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati justru untuk penyesuaian terhadap globalisasi. Sementara itu jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi secara kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap diskursus globalisasi yang dominan dengan perspektif alternatif
Untuk mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidak adilan sosial era globalisasi ini, perlu setiap dalam penyelenggaraan proses belajar secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana mereka memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidak adilan sosial, serta bagaimana mereka menterjemahkan kesemua itu mampu diterapkan dalam metodologi dalam penyelengaraan proses belajar. Oleh karena itu metode dan teknik “hadap masalah” menjadi salah satu kegiatan yang strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan. Persoalannya, dalam penyelenggaraan proses belajar selalu ditemukan kelemahan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan pesrta proses belajar sebagai subjek dan pusat kegiatan penyelenggaraan proses belajar dan konstituensi utama proses belajar memungkinkan memiliki peran kontrol dan monitor untuk mewujudkan proses belajar yang membebaskan. Oleh karena itu orientasi untuk setiap peserta untuk menghayati visi dan misi mereka, serta kesadaran kritis peserta sangat diperlukan jika akan meletakkan peserta belajar sebagai subyek dan pemonitor proses dan metode untuk transformasi sosial .
Pendidikan untuk resistensi terhadap dominasi dan penindasan.
Bagaimana proses pembebasan dan proses belajar untuk membangkitkan kesadaran kritis dan pembebasan dilakukan? Para fasilitator dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada metode ketika proses belajar diselenggarakan. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistim sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu, proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan . Dalam era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis. Strategi umumnya fasilitator lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya Neoliberalisme. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati justru untuk penyesuaian terhadap globalisasi. Sementara itu jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi secara kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap diskursus globalisasi yang dominan dengan perspektif alternatif
Untuk mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidak adilan sosial era globalisasi ini, perlu setiap dalam penyelenggaraan proses belajar secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana mereka memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidak adilan sosial, serta bagaimana mereka menterjemahkan kesemua itu mampu diterapkan dalam metodologi dalam penyelengaraan proses belajar. Oleh karena itu metode dan teknik “hadap masalah” menjadi salah satu kegiatan yang strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan. Persoalannya, dalam penyelenggaraan proses belajar selalu ditemukan kelemahan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan pesrta proses belajar sebagai subjek dan pusat kegiatan penyelenggaraan proses belajar dan konstituensi utama proses belajar memungkinkan memiliki peran kontrol dan monitor untuk mewujudkan proses belajar yang membebaskan. Oleh karena itu orientasi untuk setiap peserta untuk menghayati visi dan misi mereka, serta kesadaran kritis peserta sangat diperlukan jika akan meletakkan peserta belajar sebagai subyek dan pemonitor proses dan metode untuk transformasi sosial .
No comments:
Post a Comment