BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu dari
subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa
dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian
agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang
perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana
mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa
yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya
pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama
bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan
dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa
hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa
agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah
bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik
hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan
substansi agama?
Berhubungan
dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan
klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan
menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang
dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai
makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan?
Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada
sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh
pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan
problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan
seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai
makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami
ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif
dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk
pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban
yang serius dan memuaskan.
Adapun
faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para
teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi
keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;
2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti
tangan, wajah, dan?) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan
menghindar dari “kematian” rasionalisasi agama;
3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan,
seperti ilmu, kodrat, iradah dan?;
4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan
ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan
bahasa agama;
5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan
proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika
perselisihan internal agama;
6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme,
positivisme logikal dan filsafat analitik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Islam Dan Ilmu Kalam
1. Pengertian Filsafat Islam
Filsafat
terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan Islam. Secara literal filsafat berasal
dari kata Philo yang artinya “cinta” dan Sophia artinya
“pengetahuan” dan “kebijaksanaan”. Jadi philosophia berarti cinta akan
ilmu. Dalam khazanah ilmu, filsafat diartikan sebagai berfikir yang bebas,
radikal dan berada dalam dataran makna.
Berfilsafat
adalah berfikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir radikal
artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya.
Berfilsafat adalah berfikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari
sesuatu atau keberadaan dan kehadiran makna dari sesuatu atau keberadaan dan
kehadiran.
Sedangkan
Islam secara semantik berasal dari kata salima yang artinya menyerah,
tunduk dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah dan dengan kata
menyerahkan diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam
pengertian menyerah, maka semua makhluk ciptaan Allah, gunung, samudra, udara,
air, cahaya dan bahkan setan pun, pada hakikatnya adalah Islam, dalam arti
tunduk dan menyerah kepada Penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah ditetapkan
dan berlaku pada dirinya sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).
Jadi filsafat
Islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati
posisi sebagai sifat, corak dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan
filsafat tentang Islam. Filsafat islam artinya berfikir yang bebas, radikal,
dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang
menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Dengan demikian, filsafat Islam berada
dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral. Keberpihakannya adalah
kepada keselamatan dan kedamaian.
2.
Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam
biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu
tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu ushuluddin
karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin). Disebut ilmu
tauhid karena ilmu ini membahas tentang ke-Esaan Allah SWT. Secara
obyektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam
lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh karena itu, sebagian teolog
membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.
Abu Hanifah
menyebut nama ilmu ini dengan fiqh Al-Akbar. Menurut persepsinya,
hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama,
fiqh Al-Akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua,
fiqh Al-Asghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan
pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.
Teologi Islam
merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa
Inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan
mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan, “Theology
to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy
and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang
kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara
itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan,
perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.
Sumber-Sumber
Ilmu Kalam
Sumber-sumber
ilmu kalam adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah:
§ Q.S
Al-Ikhlas (112): 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak
diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sejajar
dengan-Nya.
§ Q.S
Asy-Syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
§ Q.S
AL-Furqon (25): 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang
bertahta di atas “Arsy“. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada
diantara keduanya.
§ Q.S
AL-Fath (48): 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu
berada di atas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka
berpegang teguh pada janji Allah.
§ Q.S
Thaha (20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu
digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
§ Dan
sebagainya
b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang
dibahas ilmu kalam. Syaikh Abdul Qodir mengomentari bahwa hadis yang berkaitan
dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu kalam,
mempunyai sanad yang sangat banyak. Diantara sanad yang sampai pada Nabi adalah
yang berasal dari beberapa sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu
Darda, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin amr bin Ash, Abu,
Ummah, Wastilah bin Al-Aqsa.
c. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat
islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat
Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah
menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat).
Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat
Al-Qur’an, diantaranya dalam Q.S Muhammad (47): ayat 24 yang artinya “maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qor’an ataukah hati mereka terkunci”.
d. Insting
Secara
insingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya
Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad
mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan
orang-orang primitif.
3.
Hubungan Ilmu Kalam Dan Filsafat
Ilmu kalam dan
filsafat mempunyai kemiripan obyek kajian. Obyek kajian ilmu kalam adalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan, sedangkan obyek
kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusian, dan
segala sesuatu yang ada.
Baik illmu
kalam maupun filsafat berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu
kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan
yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha
menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak
dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau di atas
jangkauannya, atau tentang Tuhan.
Titik
Perbedaan
Perbedaan di
antara kedua ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam,
sebagai ilmu yang menggunakan logika, disamping argumentasi-argumentsi naqliah,
berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak
nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika atau
dikenal dengan istilah dialog keagamaan.
Sementara itu
filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional.
Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi
secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),
tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri
yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah
berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the
gaining of conceptual clarity)
Berkenaan
dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika, maka dalam
filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam
pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan fakta dan data itu sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, kebenaran
adalah persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan kenyataan yang
sebenarnya dialam nyata.
Disamping
kebenaran korespondensi, didalam filsafat juga dikenal kebenaran koherensi.
Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu
pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara
umum dan permanent. Jadi kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai
dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama’ umum.
Disamping dua
macam kebenaran diatas, didalam filsafat dikenal juga dengan kebenaran pragmatik.
Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat
(utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan
dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak
tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan.
Didalam
pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan
teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat
itu sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial,
dan humaniora, sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik,
pertengahan, dan filsafat modern.
Dilihat dari
aspek aksiologi (manfaatnya), teologi berperan sebagai ilmu yang
mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan
secara rasional. Adapun filsafat berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada
orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara meyakinkan
melaui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini,
orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan
secara meyakinkan melalui rasionya.
B. Wilayah Kalam dan Filsafat
Kata falsafah
adalah bahasa arab yang di pinjam dari kata Yunani yaitu “Philosophia”
yang berarti kecintaan kepada ilmu/ kebijasanaan (Wisdom). Kata
falsafah diberi sentuhan bahasa Indonesia menjadi filsafat atau filosofi. Dalam
ungkapannya arab yang asli, cabang ilmu tradiosional islam di sebut ‘ulum
al hikmah atau pendek kata di sebut dengan “al-hikmah” yang
artinya kebijaksanaan. Maka “Failasuf” (ambilan kata yunani “Philosophos”,
pelaku filsafat) di sebut juga “al-Hakim” (ahli hikmah atau orang yang
bijaksana).
Sumber dan
pangkal tolak falsafah dalam islam adalah ajaran islam sendiri sebagaimana
terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah. Para Failasuf dalam lingkungan agama-agama
yang lain adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religius), sekalipun
berbagai titik pandang keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru
akan berlawanan dengan yang dipunyai ortodoks (ajaran murni/ fanatik) serta
tidak mungkin menilai bahwa falsafah islam adalah carbon copy
pemikiran Yunani.
Sepintas, kata
filsafat itu menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislamam ini meskipun memiliki
dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri banyak mengandung
unsur-unsur dari luar, terutama dunia pemikiran Yunani. Inilah pangkal dari
adanya kontroversi di sekitar falsafah, dimana batas-batas agama Islam
mengizinkan adanya masukan dari luar khususnya jika datang dari kalangan bukan
ahli kitab.
Beberapa
ulama’ yang fanatik tersebut menunjukkan kemusyrikan orang-orang Yunani
tersebut sebagi salah satu alasan keberatan mereka terhadap filsafat. Karena
dalam filsafat tersebut, pengertiannya sangat luas dan mencakup bidang-bidang
ilmu pengetahuan (disiplin ilmu) dan bukan hanya ilmu pengetahuan saja, yaitu
dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang
berasal dari penalaran deduktif maupun yang penyamaran empiris. Karena falsafat
tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa arab muslim dengan
bangsa-bangsa sekitarnya. Interaksi sosial itu memperoleh wujudnya yang nyata
semenjak masa dini sekali sejarah Islam.
Sedangkan
dalam pembahasan teologi, pemakaian istilah teologi terdiri dari Theos yang
artinya “tuhan” dan Logos yang artinya “ilmu”. Jadi teologi adalah
ilmu yang membahas tentang ketuhanan yaitu membicarakan Zat Tuhan dari segala
seginya dan hubunganya dengan alam. Teologi bisa saja tidak bercorak agama,
tetapi merupakan bagian dari filsafat ketuhanan. Dan bisa juga bercorak agama
sebagai keterangan kata-kata agama yang bersifat pikiran. Ilmu kalam
membicarakan tentang kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan
membicarakan hubungan antara tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
ataupun pemikiran murni.
Dalam alur
argumen kalam asy’ari, setiap pembahasan teologi, pusat argumentasi kalam
asy’ari berada pada upayanya untuk membuktikan tuhan yang menciptakan seluruh
jagad raya dan bahwa jagad raya itu karena diciptakan oleh tuhan dari
“ketiadaan”. Karena itulah maka ilmu kalam menjadi karakteristik pemikiran
mendasar yang amat khas dalam islam. Yang membuat pembahasan teologis dalam
agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain manapun, baik dari segi isi
maupun metodologinya.
C.
Polemik Antara Kalam dan Teologi
Kaum filsafat
menyatakan bahwa keberadaan alam adalah kekal, qodim atau abadi dalam arti
tidak ada awalan. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sina dan Al-Farobi yang
oleh ahli kalam atau ahli teologi Islam tidak dapat diterima. Sebab menurut
konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta adalah
yang menciptakan sesuatu dari yang tiada menjadi ada. Kalau alam dikatakan
qodim atau tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian
Tuhan bukanlah pencipta. Sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghozali, tidak
ada umat islam yang menganut bahwa alam ini tidak bermula, alam haruslah
bermula. Jadi paham adanya qodim selain dari Tuhan bisa membawa kepada:
§ Banyaknya
yang qodim, banyaknya Tuhan, yaitu paham syirik. Sedangkan syirik adalah dosa
besar yang dosanya tidak bisa diampuni oleh Allah.
§ Paham
ateisme alam yang qodim tidak perlu pada pencipta. Jelaslah bahwa kedua paham
ini bertentangan dengan ajaran dasar dan mutlak dalam ajaran Islam.
Tentang Islam tuhan,
golongan filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal dan
peristiwa-peristiwa kecil kecuali denga cara yang umum. Pengetahuan universal
tidaklah tunduk, seperti pengtahuan partikular, kepada pembatasan-pembatasan
ruang dan waktu. Karena itu tuhan mengetahui sesuatu peristiwa sebelum atau
sesudah kejadiannya secara serentak. Karena ia mengetahui secara apriori
rangkaian sebab-sebab dari mana ia akhirnya akan berhenti. Menurut para
filosof, dengan pemahaman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara umum
adalah bahwa ilmu yang juga adalah Zat-Nya bersifat kekal, tetap dan tidak
berubah dengan perubahan yang terjadi pada obyek-obyek diluar Tuhan yang dapat
merong-rong ke-Esaan-Nya. Ilmu ketuhanan adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya selain dengan zat kalau terjadi perubahan dalam tambahan
atau sifat tambahan tersebut, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Permulaan
penggunaan ilmu kalam dan takallum dalam sejarah Arab-Islam, dikaitkan
dengan Syahrastani sebagaimana dilakukan Abu Hasan al-Asy’ari sebelumnya,
dengan kitabnya yang berjudul “Dhuhur Al-Kilaf“. Setelah mengutip
tema-tema pokok yang menimbulkan perbedaan pendapat pada masa Nabi dan
Khulafa’ur Rasyidin, tampaknya perbedaan itu bersifat rasional yang tidak ada
pada masa setelahnya dan berakhir pada masa Ali bin Abu Tholib. Perbedaan
pendapat setelah wafatnya Nabi Muhammad berkisar pada dua hal; pertama,
berkaitan dengan amanah dan yang kedua, berkaitan dengan masalah
dasar-dasar agama. Sementara perbedaan pendapat dalam masalah imamah,
merupakan perbedaan yang paling besar dikalangan umat islam. Perbedaan ini
minimal dua ada kelompok: pertama, yang mengatakan bahwa persoalan imamah
merupakan persoalan yang di rujukkan dengan kesepakatan bersama dan bersifat ikhtiari.
Pendapat ini di kemukakan oleh ahli sunnah. Dan yang kedua,
berpendapat bahwa masalah imamah merupakan masalah yang di tentukan
oleh nash dan bersifat penunjukan. Pendapat ini dikemukakan oleh
kelompok syi’ah. Berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam masalah dasar-dasar
agama, Syahrastani membatasi sejarah perkembangannya pada “akhir masa sahabat”.
Dan di kaitkan dengan munculnya bid’ah yang di prakarsai oleh Ma’bad
al Juhaini, Ghalian al Dhimasyqi dan Yunus al Aswari dalam masalah Qodar,
“Kemampuan manusia untuk mengekspresikan atau menciptakan perbuatan baik atau
buruk dan penetapan tanggung jawab dari perbuatannya”, ini sebagai ganti dari
penyadaran baik dan buruk pada qodo’ dan qodar setelah meringkas perbedaan
pendapat pada Wasil bin Atho’ dan Umar bin Ubaid yang menjadikan sikap I’tizal
sebagai mazhab. Kemudian setelah itu tokoh mu’tazilah mempelajari buku-buk
filsafat pada masa Al-Makmun. Sementara itu, metode filsafat mengalami
percampuran dengan metode ilmu kalam. Kemudian memilah dan memilih ilmu sebagai
kalam.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa permulaan kalam dan filsafat bertolak pada
sejarah perbedaan. Kemunculan ahli kalam waktu itu masih di sebut intelektual,
tidak mungkin secara sempurna kecuali terkait dengan munculnya perbedaan. Setelah
munculnya jadi jelas definitif, perbincangan ilmu kalam mulai mengambil bentuk
metode dan kerangka mazhab. Maka statmen-statmen pemikiran mulai matang dan
akhirnya meningkat pada pengetahuan artinya dapat diterima adanya babak dari
susunan yang sistematis.
Ada beberapa
pendapat ahli untuk menjawab polemik antara kalam dan filsafat Islam, antara
lain:
1. Dr. Fuad al-Ahwani dalam bukunya filsafat Islam tidak
setuju jika filsafat Islam sama dengan ilmu kalam, dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu
agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasan
bagai ilmu kalam berdasakan pada Allah SWT dan sifat-sifatnya serta hubungannya
dengan alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan
sebab-sebabnya. Seperti filosof Aristoteles yang dapat membuktikan tentang
sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah
sebagaimana aliran-aliran materialisme.
b. Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut
pendapat paling kuat, apakah ia lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qur’an
yaitu kalam Allah, apakah yang qodim atau makhluk. Perbedaan pendapat terjadi
antara kaum mu’tazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut
Asy’ari. Adapun filsafat adalah istilah yunani yang masuk ke dalam bahasa arab
sebagai penegasan al-Farobi bahwa filsafat itu berasal dari yunani dan masuk
kedalam bahasa arab.
c. Pada abad ke 2
Hijriah, telah lahir filsafat Islam dengan bukti adanya filsuf-filsuf Islam seperti
al-Kindi. Disamping itu, dikalangan ilmu ahli kalam ada ahli yang terkenal
seperti an-Nazam, al-Juba’I, Abul Huzail. Para ahli ilmu kalam ini ada yang
menamakan dirinya sebagai filosof. Dan ada pertentangan tajam diantara kedua
belah pihak, sebagaimana al-Ghozali pengikut aliran al-Asy’ariyah yang menulis
kitab tahafutul falsafah, namun dalam kalangan ahli filsafat, ibn
Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis tafutul al-tahafut
2. Prof . Tara Cana
Dia mengatakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk
arti dari ilmu kalam. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat itu telah lahir
dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan pada dasarnya mementingkan
pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya ataupun untuk
membangun pemikiran-pemikiran teologi keagamaan.
3. Prof. Fuad al-Ahwani
Ia mengatakan bahwa sekolah pada abad ke 6 Hijriah,
filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini telah
menelan filsafat sedemikian rupa dan masukannya di dalam kitab-kitabnya.
Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam di dahului dengan
pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosofinya.
D.
Titik Temu Antara Ilmu Kalam dan Filsafat Islam
Dari uraian
diatas kita dapat mengetahui secara garis besar bahwa filsafat Islam bertujuan
untuk mempertemukan antara filsafat dan agama. Hal ini dapat kita lihat pada
setiap langkahnya, akan tetapi timbul pertanyaan bagaimana agama sebagai wahyu
Tuhan, sebagai bahasa langit, sebagai santapan hati, dan sebagai sumber
perintah-perintah dan larangan-larangan, bisa bertemu dengan filsafat sebagai
ciptaan manusia dan sebagai bahasa bumi yang masih bisa dibahas dan di
persoalkan? Bagaimana kebenaran yang di dasarkan oleh ilham dan wahyu bisa di
persatukan dengan kebenaran filsafat yang didasarkan dengan alasan fikiran?
Bagaimana dengan dalil sam’i bisa di gabungkan dengan dalil aqli?
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, bisa dijawab dengan tidak lebih dari tiga jawaban, yaitu:
pertama, memegang teguh agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendirian
orang beragama dan tidak berfilsafat. Yang kedua, kebalikan dari yang
pertama, yaitu memegang teguh filsafat dan menolak agama. Dan inilah pendirian
orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan aqidah-aqidah agama. Dan yang ketiga,
mengusahakan pemaduan antara filsafat dan agama dengan menggunakan cara
tertentu, dan cara inilah yang di tempuh oleh seorang filosof yang mu’min atau
seorang filosof yang seharusnya memperhatikan aqidah-aqidah agama.
Bagi orang
yang memahami semangat Islam yang mengajarkan pengambilan jalan tengah dan
mempelajari ilmu-ilmu keislaman, maka ia akan mengetahui bahwa semangat
pemaduan adalah merupakan salah satu aliran-liran yang berbeda dan berlawanan,
tentu timbul aliran penengahnya. Seperti yang dibuktikan oleh sejarah.
Aliran
asy’ariah dalam ilmu kalam yang bisa dikatakan yang bisa menguasai dunia Islam
sampai sekarang ini tidak lain adalah aliran tengah-tengah filsafat yang
memegangi bunyi nash tanpa mengemukakan penafsiran rasional dengan aliran
mu’tazilah yang membebaskan sepenuhnya dalam memahami nash-nash dan
penafsirannya.
Dalam lapangan
hukum Islam kita mendapati mazhab syafi’i yang menjadi mazhab penengah antar
mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang mendasarkan pada pikiran dan ijtihad.
Kalau demikian corak pemikiran kaum muslimin pada berbagai bidang
pemikiran-pemikiran pada umumnya, maka terlebih lagi filosof-filosof Islam
berusaha untuk mempertemukan agama dengan filsafat yang di percayai
kebenarannya dan didasarkan dengan ketentuan-ketentuan dalil pikiran yang sama
rata.
Selain karena
corak pemikiran tersebut, ada beberapa faktor yang mendorong kearah pemaduan
tersebut, yaitu: pertama, adanya jurang pemisah yang dalam antara
Islam dan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat
Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baharu dan qodimnya alam,
hubungan alam dengan Tuhan keabadian jiwa, dan balasan badaniah atau ruhaniah
di akhirat. Kedua, adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh
orang-orang agama terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil
yang sesuai dengan aqidah agama yang telah di tetapkan sebelumnya. Sikap ini
sering di ikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan
penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli pikir bebas. Dan yang ketiga,
hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan
tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak
perlawanannya dengan agama.
KESIMPULAN
Filsafat Islam
adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tatangan zaman,
yang meliputi Allah, alam semesta, wahyu dan akal serta agama. Sedangkan ilmu
kalam adalah ilmu yang membahas firman-firman Allah sebagai sumber pokok
beragama.
Namun
demikian, dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman antara lain keduanya dapat di
bedakan. Filsafat Islam mengandalikan akal dalam mengkaji obyeknya yaitu:
Allah, alam dan manusia tanpa terikat dengan pendapat yang ada.
Pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan
relatif. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dari aqidah yang tertera dalam wahyu
yang mutlaq kebenarannya untuk mengkaji obyeknya, Allah dan sifat-sifat serta
hubungan Allah dengan alam dan manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci
menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash agama.
Polemik antara
kalam dan filsafat Islam pada intinya terletak pada dasar cara pandang mereka
diantaranya ilmu kalam. Dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan
filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasan bagi ilmu kalam
berdasarkan pada Allah dan sifat-sifatnya serta hubungannya dengan alam dan
manusia yang berada di bawah syari’atnya. Obyek filsafat dalam alam dan manusia
serta pemikiran Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu
Allah. tetapi ada juga yang menginginkan mengingkari adanya wujud Allah sebagai
aliran-aliran materialisme.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Musa Asy’arie, 2002, Filsafat Islam:
Sunnah Nabi Dalam Berfikir, LESFI, Yogyakarta.
Dr. M. Amin Abdullah, 1995, Falsafah Kalam Di Era
Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Olver Leaman, 1989, Pengantar Filsafat Islam,
Rajawali Pers, Jakarta.
Dr. Abdul Razak, M. Ag & Drs. Rosihan Anwar, M. Ag,
2003, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.
Hasyimsyah Nasution, 1999, Filsafat
Islam, Gaya Media Utama, Jakarta.
Drs. H. mustofa, 1999, Filsafat
Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Abdul Hakim Atang dan Mubarok Jaih, 2002, Metodologi
Studi Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Nata Abuddin, 1993, Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan
Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta.
No comments:
Post a Comment