Indonesia Adalah Negara Agamis:
Merumuskan Relasi Agama dan Negara
dalam Perspektif Pancasila·
Oleh
Lukman
Hakim Saifuddin
Ketua
Fraksi PPP DPR RI
I. Pendahuluan
Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami
pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis
sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami
ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun
1950-1960. Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri,
melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya.
Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan
politik (negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism
& Human Rights bahwa; religion and politics are one.[1]
Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat
dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.[2] Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa
ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan di dalamnya memuat kontrak
di antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok
pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai
Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka
tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.[3]
Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika
Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state
saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam
konteks Amerika pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur
tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding
pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya
pemerintahan bernegara. Bahkan menurut
David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis
dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi
Amerika. Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang
memperlihatkan relasi antara agama dan negara.[4]
Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan dengan
pandangan keindonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan mutualisme”
antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama
dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan
dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun
jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk
perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi
jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat).
Dengan kata lain agama juga berperanserta dalam pemerintahan.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali
menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan
pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam
diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih
diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah
dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya
terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai
dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun
tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
II. Memaknai
Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
a.
Istilah Sekularisme
Sebelum ”membaca” sejauhmana
pentingnya membangun agama yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu
ditelusuri keberadaan pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme.
Sekularisme sendiri berasal dari
terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”, namun kata ”laigue”
sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah timbulnya makna sekulerisme
itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos” yaitu berasal dari
kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk
dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh agama).[5]
Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja yang
bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.[6]
Kemudian penggunaannya disimpangkan
dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap
(baca; memusuhi) agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu
pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di
gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh
negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.[7]
Dari pendekatan semantik dan sejarah
itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme
(sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya
ia menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral.” Kesalahpahaman
terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin
hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan
kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai
agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang
mengelola negara. Dari bagan ini dapat
dilihat bahwa agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.
Bagan Penurunan tingkat kehadiran
di Gereja
Masyarakat Inggris, Skotlandia,
dan Wales[8]
b.
Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPK
Pembahasan mengenai hubungan negara
dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi sudah
berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya
membahas mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPK. Hal itu
dikarenakan dalam sidang-sidang BPUPK tersebutlah ditemukan kesepakatan
mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhineka
tunggal ika-an Indonesia.
Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31
Mei 1945, di sidang BPUPK membahas mengenai hubungan negara dan agama.
Menurutnya setelah menguraikan mengenai dasar-dasar negara maka konsekuensinya
perlu dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori
integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah;
- perhubungan negara dan agama;
- cara bentukan pemerintahan;
- perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.[9]
Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding fathers and
mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan dengan
relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah
berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu dapat terlihat jika
dicermati perkataan Soepomo berikut ini;
”Oleh anggota yang terhormat tuan
Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan
di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di
sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama, yang
menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain,
sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan
nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan:
bukan negara Islam.”[10]
Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Karena
itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka
tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan negara. Soepomo
menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;
Negara nasional yang bersatu itu
tidak berarti, bahwa negara itu akan bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara
nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur,
akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang
demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang juga memakai dasar moral yang
luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.[11]
Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara
Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca;
Islam). Dari perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama
tidak dapat tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.
Juga di dalam urusan Kepala
Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab?
Oleh karena monarchie ”vooronderstelt erfelijkheid”, -turun
temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya
menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap Kepala Negarapun dipilih.
Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-kepala Negara, baik kalif, maupun
Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat?[12]
Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan
tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa,
maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai
agama dalam penyelenggaraan negara.
c.
Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme
dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara
komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi
faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah
bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan
Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari
cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan
persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding
fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di
antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas
kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa
sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima
dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat,
dan negara oleh rakyat.[13]
Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam
melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara
oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan
bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan
sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan
nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia
(berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan
berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan
Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain
dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan
Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu
mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan
kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai
bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan
MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan
dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk
beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama
(atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak
membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,
melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.
III. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara
Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.
Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.
Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti: pelanggaran hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.
IV. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004) bahwa: Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.[14]
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian
yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic
bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke dalam tulisannya
yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True Original, Extent and
End of Civil Government menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak
dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi.
These are the
bounds which the trust that is put in them by the society and the law of God
and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all
forms of government.[15]
Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada
negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak
telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga
memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di
Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya
seperti prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)[16],
untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus
dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain
saling memberi. Dalam konteks ini, agama
memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan
keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks
and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara
untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak
represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol
dan diimbangi oleh nilai ajaran
agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni
alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi
lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan
landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi
oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin
dan dilindungi negara.
V. Ketegangan Hubungan antara Agama dan Negara
Ketegangan hubungan antara agama dan
negara terjadi manakala di antara keduanya tidak terjadi hubungan yang
simbiosis-mutualistis dan saling checks and balances. Dalam
hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan
kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, atau
sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan
sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai
keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya
mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau
negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran
agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi
manusia.
Hal itulah yang terjadi di banyak
negara di dunia ketika negara tidak mampu mengakomodir nilai-nilai religus
agama. James M. Lutz dan Brenda J. Lutz mengemukan ketegangan yang berkaitan
dengan keagamaan dalam buku berjudul Global
Terrorism. Buku itu mengupas bagaimana seluruh nilai-nilai agama, dari
Yahudi, Kristen hingga Islam, dapat disimpangkan menjadi kekuatan teror yang
menghancurkan tatanan bernegara.[17] Bahkan konflik itu sudah berlangsung ribuan
tahun lamanya. Kasus komunitas Yahudi di Provinsi Judea pada masa kerajaan Roma
yang terjadi pada 66 sampai 71 Sebelum Masehi. Komunitas tersebut mencoba
melakukan pembangkangan berdasarkan agama terhadap kerajaan Roma.[18]
Konflik di India yang digerakkan oleh komunitas agama Sikh pada 1970 di India.[19]
Aum Shinrikyo di Jepang, Islam di Aljazair (1950-1960an), dan banyak agama
lainnya di dunia.[20]
Bahkan ketegangan antarnegara dapat ditimbulkan oleh agama dan menjadi krisis
yang sulit dihentikan sebagaimana terjadi antara Palestina dan Israel.[21]
Agar ketegangan di atas tidak
terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus menyadari bahwa dalam
mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan, sementara itu tokoh
agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-nilai
demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.
VI. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal
dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal
29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
- Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.
- Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya.
- Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.
VII. Indonesia Merupakan Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak
cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara
sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru.
Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara
sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan
”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada
beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang
mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1.
Alinea ketiga
Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai
basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2.
Pasal 9 UUD yang
mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
3.
Pasal 24 ayat
(2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah
Agung.
4.
Pasal 28J ayat
(2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
5.
Pasal 29 ayat
(1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6.
Pasal 31 ayat (3) UUD
bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7.
Pasal 31 ayat 5
UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui
pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi
nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU
Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai
keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan
semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara
agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama
terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah
negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama
untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya
tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati
sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang
berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi,
antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang
tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama
itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan
pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab
Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara
Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal
yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan
nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan
dari negara sekuler. Kalau negara sekuler[22]
menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
VIII. Penutup
Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada
posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Untuk itu, agama-agama di Indonesia
harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk memasukkan prinsip-prinsip
keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa
dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dan persaudaraan
antar komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga memantapkan posisi
agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam” yang menopang kohesi sosial,
daya tahan, dan keutuhan NKRI.
Daftar
Pustaka
Al qur’an.
Abuddin Nata (edt), Problematika
Politik Islam di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta,
2002.
David A.J. Richards, Foudations of American
constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989.
David Goldblatt, An
Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and
The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open
University, London,
2000.
Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by
Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta,
2006.
James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism,
Routledge, London,
2004.
Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human
Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003.
Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama,
Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
RM, A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2004.
Satya Arinanto, Proses
Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.
Yudi Latif, Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita
Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
The Random
House Dictionary of the English Languange, Random House Inc, New York,
1983.
***
· Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan
oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
[1] Katerina Dalacaoura, Islam
Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London
and New York,
2003, hlm. 42.
[2] Sejarah
Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam
membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta,
2003, hlm. 203.
[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 16-17.
Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945:
Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk
yang diterbitkan UI Press, Jakarta,
1995. Buku ini berasal dari disertasi penulis dengan topik yang sama.
[4] David
A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University
Press, New York,
1989, hlm. 26.
[5] Muhammad
Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta, 2001, hlm. 104-105.
[6] Loc.
cit.
[7] Loc
cit.
[8] David
Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social
Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice,
Routledge dan Open University, London,
2000, hlm.54.
[9] RM,
A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2004, hlm. 128.
[10] Ibid.
[11] Ibdi, hlm. 130.
[12] Ibid,
hlm. 163.
[13] Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1
Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya Arinanto,
”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.
[14] Dikutip dari Pengantar Diskusi Yudi
Latif dalam Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm.
111-112.
[15] Jhon
Locke, An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil
Government, dalam Sir Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by
Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947, hlm. 84.
[16] Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya
ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
[17] James
M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004, hlm. 64-87.
[18] Ibid,
hlm. 73.
[19] Ibid,
hlm. 76.
[20] Ibid,
hlm. 64-87.
[21] Ibid,
hlm. 107.
[22] Negara sekuler adalah
negara penganut sekularisme. Sekularisme adalah a system of political or social
philoshopy that rejects all of forms of religious faith and worship. The
Random House Dictionary of the English Languange (New York: Random House Inc,
1983), Halaman 1290.
No comments:
Post a Comment