dwKOMQi3a4gh8Hee1hY6F_nqDcw Makalah Relasi Agama dan negara | referensi makalah

Wednesday, November 30, 2011

Makalah Relasi Agama dan negara


 Indonesia Adalah Negara Agamis:

Merumuskan Relasi Agama dan Negara

dalam Perspektif Pancasila·


Oleh
Lukman Hakim Saifuddin
Ketua Fraksi PPP DPR RI
 

 I. Pendahuluan
Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya.

Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one.[1] Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.[2] Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan di dalamnya memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.[3]
Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks Amerika pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya pemerintahan bernegara.  Bahkan menurut David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi Amerika. Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang memperlihatkan relasi antara agama dan negara.[4]
Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan dengan pandangan keindonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan mutualisme” antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperanserta dalam pemerintahan.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.

II. Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Istilah Sekularisme
            Sebelum ”membaca” sejauhmana pentingnya membangun agama yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme.
            Sekularisme sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”, namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah timbulnya makna sekulerisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos” yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh agama).[5] Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.[6]
            Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi) agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.[7]
            Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral.” Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang mengelola negara.  Dari bagan ini dapat dilihat bahwa agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.

Bagan Penurunan tingkat kehadiran di Gereja
Masyarakat Inggris, Skotlandia, dan Wales[8]



 














b. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPK
            Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya membahas mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPK. Hal itu dikarenakan dalam sidang-sidang BPUPK tersebutlah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhineka tunggal ika-an Indonesia.
            Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPK membahas mengenai hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah menguraikan mengenai dasar-dasar negara maka konsekuensinya perlu dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah;
  1. perhubungan negara dan agama;
  2. cara bentukan pemerintahan;
  3. perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.[9]

Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding fathers and mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal itu dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;
”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”[10]

Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Karena itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.[11]


Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari perkataan Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat tidak akan selalu ”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.
Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchievooronderstelt erfelijkheid”, -turun temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap Kepala Negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-kepala Negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat?[12]

Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa, maka sangat tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara.

c. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945
            “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti,  tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.[13] Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan  Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa  “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.

III. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara          

Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.

Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.

Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan  kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti: pelanggaran hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif  lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.



IV. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The Challenges to America’s National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004) bahwa:  Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.[14]  

Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi.
These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all forms of government.[15]

Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)[16], untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini,  agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi).  Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.

 

V. Ketegangan Hubungan antara Agama dan Negara

            Ketegangan hubungan antara agama dan negara terjadi manakala di antara keduanya tidak terjadi hubungan yang simbiosis-mutualistis dan saling  checks and balances. Dalam hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia.
            Hal itulah yang terjadi di banyak negara di dunia ketika negara tidak mampu mengakomodir nilai-nilai religus agama. James M. Lutz dan Brenda J. Lutz mengemukan ketegangan yang berkaitan dengan keagamaan dalam buku berjudul Global Terrorism. Buku itu mengupas bagaimana seluruh nilai-nilai agama, dari Yahudi, Kristen hingga Islam, dapat disimpangkan menjadi kekuatan teror yang menghancurkan tatanan bernegara.[17]  Bahkan konflik itu sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Kasus komunitas Yahudi di Provinsi Judea pada masa kerajaan Roma yang terjadi pada 66 sampai 71 Sebelum Masehi. Komunitas tersebut mencoba melakukan pembangkangan berdasarkan agama terhadap kerajaan Roma.[18] Konflik di India yang digerakkan oleh komunitas agama Sikh pada 1970 di India.[19] Aum Shinrikyo di Jepang, Islam di Aljazair (1950-1960an), dan banyak agama lainnya di dunia.[20] Bahkan ketegangan antarnegara dapat ditimbulkan oleh agama dan menjadi krisis yang sulit dihentikan sebagaimana terjadi antara Palestina dan Israel.[21]
            Agar ketegangan di atas tidak terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus menyadari bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan, sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.

VI. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila

Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan  Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
  1.  Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.
  2. Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya.
  3. Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

VII. Indonesia Merupakan Negara Agamis

Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1.      Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2.      Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
3.      Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
4.      Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5.      Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6.      Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7.      Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan  lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
            Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler[22] menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

VIII. Penutup

Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
            Untuk itu, agama-agama di Indonesia harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk memasukkan prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dan persaudaraan antar komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga memantapkan posisi agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam” yang menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.




























Daftar Pustaka
Al qur’an.
Abuddin Nata (edt), Problematika Politik Islam di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2002.
           
David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989.
           
            David Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London, 2000.

Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947.
           
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004.

Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003.
           
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003.
           
            Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
           
RM, A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004.
           
Satya Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.
           
Yudi Latif,  Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
           
The Random House Dictionary of the English Languange, Random House Inc, New York, 1983.


***



·               Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
[1]               Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm. 42.
[2]               Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203.
[3]       Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 16-17. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi penulis dengan topik yang sama.
[4]               David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989, hlm. 26.
[5]               Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 104-105.
[6]               Loc. cit.
[7]               Loc cit.
[8]               David Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London, 2000, hlm.54.
[9]               RM, A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004, hlm. 128.
[10]             Ibid.
[11]             Ibdi, hlm. 130.     
[12]             Ibid, hlm. 163.
[13]             Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.
[14]             Dikutip dari Pengantar Diskusi Yudi Latif dalam Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 111-112.
[15]             Jhon Locke, An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government, dalam Sir Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947, hlm. 84.
[16]             Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad) melainkan untuk  (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
[17]             James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004, hlm. 64-87.
[18]             Ibid, hlm. 73.
[19]             Ibid, hlm. 76.
[20]             Ibid, hlm. 64-87.
[21]             Ibid, hlm. 107.
[22]             Negara sekuler adalah negara penganut sekularisme. Sekularisme adalah a system of political or social philoshopy that rejects all of forms of religious faith and worship. The Random House Dictionary of the English Languange (New York: Random House Inc, 1983), Halaman 1290.

No comments:

Post a Comment