FASILITASI DAN PENDAMPINGAN
Fasilitasi
seringkali digunakan secara bersamaan dengan pendampingan yang merujuk
pada bentuk dukungan tenaga dan metodologi dalam berbagai program
pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Fasilitasi
menjadi inti dari kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh tenaga
khusus untuk membantu masyarkat dalam berbagai sektor pembangunan.
Kegiatan pendampingan dilakukan dalam upaya mendorong partisipasi dan
kemandirian masyarakat. Kegiatan pendampingan menjadi salah satu bagian
dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dalam pendampingan dibutuhkan
tenaga yang memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan. Sikap dan
perilaku tertentu kepada masyarakat. Disamping itu, perlu dukungan dan
sarana pengembangan diri dalam bentuk latihan bagi para pendamping.
Di Indonesia, kegiatan pendampingan dilakukan melalui :
a. Pendampingan
lokal yang terdiri dari tokoh masyarakat, kader PKK, aparat desa,
pemuda, Kader Pembangunan Desa (KPD) dan pihak lain yang peduli terhadap
masalah kemiskinan, seperti perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan
lembaga swadaya masyarakat.
b. Pendamping
teknis yang dipilih dari tenaga penyuluh departemen teknis,
diantaranya; Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian (Penyuluhan
Pertanian Lapangan atau PPL), dan penyuluhan pertanian spesialis atau
PPS, Departemen Sosial, Petugas Sosial Kecamatan atau PSK dan Karang
Taruna, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sarjana Penggerak
Pembangunan Pedesaan atau SP3) dan lainnya.
c. Pendamping
khusus disediakan bagi masyarakat miskin di desa tertinggal dengan
pembinaan khusus. Pendamping ini diprogramkan malalui program khusus
seperti; Konsultan Pendamping untuk Proyek P3DT Swakelola dengan
koordinasi Bappenas, Bangda, dan PMD. Penanganan masalah pengungsi,
seperti pengadaan tenaga lapangan atau relawan untuk penanganan konflik,
bimbingan khusus pengungsi.
PRINSIP-PRINSIP FASILITASI
(a) Partisipasi Masyarakat
Partisipasi
masyarakat dalam pemberdayaan dipahami sebagai upaya membangun ikatan
atau hubungan yang menekankan pada tiga aspek ;
Pertama,
partisipasi diarahkan pada fungsi. Kemandirian, termasuk sumber-sumber,
tenaga serta manajemen lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan
organisasi lokal termasuk di dalamnya lembaga adat yang bertanggungjawab
atas masalah sosial kemasyarakatan. Ketiga, keyakinan umum mengenai
situasi dan arah perubahan sosial serta masalah-masalah yang
ditimbulkannya. Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi
pemikiran pokok berbagai program pembangunan masyarakat, yaitu adanya
ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas tersebut.
Melalui
strategi “pengembangan masyarakat” diharapkan pemberdayaan masyarakat
adat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio
budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan serta hubungan
dengan komunitas lainnya. Pendampingan sosial tidak saja berkaitan
dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. Pengembangan sumber daya manusia,
atau penguatan kelembagaan tetapi juga berkaitan dengan pengembangan
kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu perbedaan
rasial, ketidakseimbangan kelas dan gender, serta menghapuskan
penindasan mayoritas.
(b) Berbasis Nilai dan Moral
Pendampingan
tidak hanya dipandang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar hidup
yang bersifat material seperti penyediaan lapangan kerja, pemenuhan
pangan, pendapatan, infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya.
Pendamping harus dipandang sebagai upaya meningkatkan kapasitas
intelektual, keterampilan dan “sikap” atau nilai yang dijunjung tinggi.
Pendampingan dilakukan melalui pendekatan “manusiawi” dan beradab untuk
mencapai tujuan pembangunan. Artinya, dapat saja sekelompok orang telah
terbangun dalam arti berada pada standar hidup layak, tetapi dengan
cara-cara yang “tak pantas” dilihat dari perspektif peningkatan
kapasitas masyarakat. Jadi jelas bahwa pemberdayaan merupakan cara-cara
yang beradab dalam membangun masyarakat.
(c) Penguatan Jejaring Sosial
Dalam
konteks pendampingan sosial, aspirasi dan partisipasi masyarakat dapat
diperkuat melalui interaksi dan komunikasi saling menguntungkan dalam
bentuk jejaring (nerworking). Peningkatan kapasitas suatu kelompok sulit
berhasil jika tidak melibatkan komunitas lain yang memiliki kepentingan
dan hubungan yang sama. Pengembangan jejaring perlu dilandasi pada
pemahaman terhadap sistem relasi antar pelaku berbasis komunitas dan
lokalitas dengan asumsi bahwa pelaku memiliki pemahaman yang sama
tentang pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu dibangun
pemahaman bersama antarpelaku seperti LSM, Perguruaan Tinggi, Ormas,
Bank, Lembaga Sosial, Pemerintah dan Lembaga Internasional untuk
membangun jejaring sosial.
Proses
jejaring membutuhkan implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, bersifat
informal, partisipatif, komitmen yang kuat, sinergisitas dan upaya
membangun kekuatan untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan dan
menemukan solusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
Kegiatan
usaha produktif berbasis komunitas dan lokalitas diharapkan dapat
melibatkan pelaku atau lembaga lain, seperti organisasi pemerintah.
Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan kebijakan menjadi
sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada komitmen semua pelaku
dalam jejaring tersebut.
Peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah
lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau
pengusaha kecil di kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan
merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat.
(d) Pemerintah sebagai Fasilitator
Peran
dan fungsi pemerintah dalam konsep pendampingan sosial berubah tidak
sekedar sebagai institusi pelayanan masyarakat tetapi dalam masyarakat
yang demokratis memiliki peran pokok sebagai fasilitator. Pemerintah
tidak hanya bertugas memberikan pelayanan umum saja tetapi lebih
ditekankan pada upaya mendorong kemampuan masyarakat untuk memutuskan
dan bertindak didasarkan pada pertimbangan lingkungan, kebutuhan dan
tantangan ke depan. Fasilitator tidak sekedar dituntut untuk menguasai
teknik tertentu untuk memfasilitasi tetapi juga harus mampu membangun
kemampuan pelaku lainnya mengenai program secara keseluruhan.
PERAN DAN FUNGSI FASILITATOR
ASTD
(1998) mengemukakan empat fungsi utama pendamping atau fasilitator
kegiatan pemberdayaan masyarakat yaitu ; (a) nara sumber, (b) pelatih,
(c) mediator, dan (d) penggerak. Fasilitator sebagai nara sumber (resource person)
karena keahliannya berperan sebagai sumber informasi sekaligus
mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai cara atau
pendekatan yang dianggap efektif. Fasilitator sebagai pelatih (trainer)
melakukan tugas pembimbingan, konsultasi dan penyampaian materi untuk
peningkatan kapasitas dan perubahan perilaku pembelajar. Tugas
fasilitator sebagai pelatih sangat menonjol dalam setiap kegiatan
training, lokakarya, seminar dan diskusi. Penguasaan terhadap pola
perubahan perilaku baik pengetahuan keterampilan dan sikap menjadi
penting untuk menentukan proses (metodologi) dan hasil dari suatu
pembelajaran. Peran mediator
dilakukan ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok yang
berlawanan. Peran mediasi akan dilakukan oleh fasilitator untuk
menjembatani perbedaan dan mengoptimalisasikan berbagai sumber daya yang
mendukung terciptanya perdamaian. Fasilitator sebagai penggerak
lebih berperan sebagai pihak yang memberikan dorongan atau motivasi
kerja kepada kelompok untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Secara khusus fungsi tersebut tergambar dalam aspek kegiatan sebagai berikut :
(a) Menggali potensi dan kebutuhan
Upaya
pemberdayaan dilakukan melaui proses analisis awal terhadap situasi dan
kondisi masyarakat melalui observasi mendalam. Informasi yang
dikumpulkan mencerminkan kondisi nyata tentang jenis kebutuhan dan
bentuk dukungan yang diperlukan. Fasilitator akan banyak melibatkan
berbagai elemen masyarakat dalam menyusum rencana, menetapkan instrumen
dan langkah-langkah pengumpulan data. Kegiatan ini dilakukan agar
masyarakat secara mandiri mengenal potensi dan kebutuhan nyata yang
dihadapinya. Dalam proses ini, sebaiknya fasilitataor melibatkan peran
aktif tokoh masyarakat, pimpinan agama, organisasi kepemudaan, unit
usaha dan lembaga terkait lainnya. Menggali potensi baik sumber daya
manusia dan sumber daya alam dapat dilakukan melalui observasi langsung
atau berdialog dengan masyarakat setempat serta pemanfaatan data
sekunder seperti demografi desa, statistik, status kesehatan dan rencana
tata ruang.
(b) Memecahkan Masalah
Fasilitasi
dilakukan untuk memberikan kemudahan belajar kepada masyarakat untuk
meningkatkan kapasitas berfikir ilmiah dan kemampuan mengantisipasi
perubahan. Fasilitator bukan sebagai penentu keputusan atas persoalan
yang dipilih, tetapi lebih pada upaya membantu secara sistematis proses
belajar masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhan dan memecahkan
masalah yang dihadapinya . Masyarakat diposisikan sebagai subjek
sekaligus objek dari proses penyelesaian masalah. Fasilitator berperan
memberikan kesempatan yang luas agar masyarakat secara mandiri
menentukan keputusan. Hindari dominasi fasilitator dalam mengambil
solusi, melainkan sebagai penyeimbang dan pengarah saja, agar solusi
yang diambul efektif. Apabila dalam implementasi program terjadi
berbagai masalah, sebaiknya fasilitator selalu melibatkan masyarakat
melalui musyawarah serta koordinasi dengan pihak terkait. Posisikan diri
sebagai pihak yang mempermudah masyarakat menemukan sendiri jawabanya.
(c) Memposisikan Peran dan Tindakan
Bagaimana
memposisikan masyarakat agar mampu mengambil peran dan tindakan sesuai
dengan fungsi dan kedudukannya ? Pertanyaan ini sangat mendasar, ketika
suatu komunitas tidak mampu melindungi dirinya akibat kelemahannya.
Dalam situasi ini, fasilitator akan lebih dominan memimpin dan berada di
garis depan. Masyarakat membutuhkan instruksi, arahan, aturan dan
bimbingan secara langsung. Namun demikian, fasilitator tetap memberikan
peran yang cukup kepada masyarakat untuk menentukan keputusan penting
dan pola tindak yang diperlukan. Pada saat masyarakat mulai menunjukan
peningkatan kapasitas dan mampu mengelolanya, maka fasilitator akan
mengambil posisi sebagai mitra atau pendamping untuk mempermudah kerja
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan terhadap
akses informasi, melatih peran, pembagian tugas yang jelas dalam setiap
kegiatan, menempatkan orang sesuai dengan keahlian. Posisi ini akan
berubah sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat yang didampinginya.
(d) Mengajak masyarakat untuk berfikir
Fasilitasi
merupakan proses belajar masyarakat untuk menentukan pilihan dan
tindakan terukur terhadap perubahan yang dihadapinya. Landasan filosofis
fasilitasi adalah perubahan paradigma dan proses berfikir logis
(logical framework) dan terstruktur sebagai bentuk respon terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, fasilitasi dilakukan untuk membantu
individu, kelompok atau organisasi agar menggunakan daya nalar dalam
mencapai tujuan. Fasilitasi merupakan suatu proses membangun masyarakat
kritis dan rasional atau dengan menggunakan tesis Paulo Freire bahwa
pemberdayaan adalah strategi pembebasan dari keterbelengguan. Masyarakat
memahami berbagai fenomena hidup dengan mengajak masyarkat untuk
“berfikir”: menggunakan daya nalar dan kreativitas untuk memecahkan
masalah dan menyusun perencanaan ke depan. Mengajak masyarakat berfikir
tentang potensi, kebutuhan dan masalah yang dihadapinya merupakan agenda
penting dalam kegiatan fasilitasi. Ajaklah masyarakat untuk melakukan
pemetaan konsep, situasi dan kondisi secara kritis menggunakan informasi
dan sumber lain kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kegiatan
nyata.
(e) Memberikan kepercayaan
Kepercayaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan fasilitasi dan menjadi
indikator penting dalam proses pemberdayaan. Sebuah tatanan masyarakat
madani (civil society) dibangun diatas pilar transparansi, dimana
masyarakat dengan mudah mengakses dan memutuskan berbagai kebijakan
menyangkut nasib hidupnya. Tranparansi pelaku pembangunan dan distribusi
kewenangan antar pemerintah, legislatif, dan grassroot harus jelas dan
terbuka.
Keterlibatan
masyarakat dengan institusi yang ada dalam perencanaan, melaksanakan
sekaligus mengontrol berbagai keputusan yang telah dibuat mencerminkan
bentuk komunikasi dan interaksi stakeholders yang dibangun atas dasar
kepercayaan. Membangun kepercayaan kepada masyarakat tidak sebatas
sosialisasi strategi program saja, tetapi harus melibatkan peran aktif
masyarakat sebagai pelaku utama. Fasilitasi dilakukan untuk menempatkan
masyarakat sebagai pelaku sekaligus objek pembangunan. Fasilitator
hendaknya memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengambil peran
dan melaksanakan program sesuai dengan kemampuannya. Pada dasarnya
bantuan merupakan stimulan untuk merangsang pertumbuhan dan rasa percaya
diri bahwa masyarakat mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi.
(f) Kemandirian dan Pengambilan Keputusan
Salah
satu indikator keberhasilan dari kegiatan fasilitasi yaitu menumbuhkan
kemandirian (otonomi) dalam membimbing dan mengarahkan pada upaya
pencapaian tujuan. Kemandirian menjadi salah satu paradigma pembangunan
yang mengilhami upaya pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah Proses
ini perlu didukung oleh institusi lokal dan masyarakat sipil yang kuat,
sehingga tidak berakibat pada penyalahgunaan wewenang pemerintahan lokal
tetapi lebih meningkatkan keterlibatan institusi masyarakat dalam
menentukan kebijakan di daerahnya. Artinya masyarakat diberikan ruang
cukup untuk menentukan pilihan atas sejumlah alternatif dan menetapkan
visi dirinya ke depan. Keputusan sepenuhnya di tangan masyarakat sendiri
sebagai perencana, pelaksana, pengawas dan evaluator. Kemampuan
masyarakat dalam mengambil keputusan harus terus dikembangkan.
Fasilitasi harus mampu mengurangi bentuk intervensi yang tidak perlu
yang dapat menghambat kemandirian masyarakat, sehingga masyarakat
benar-benar tahu dan ikut menentukan jenis kebijakan yang dianggap tepat
tentang dirinya sendiri.
(g) Membangun Jaringan Kerja
Fasilitasi
yang dilakukan oleh pendamping baik dikalangan pemerintah, LSM atau
institusi lain harus menyentuh aspek penguatan jaringan dari tingkat
institusi nasional hingga masyarakat. Penguatan jaringan sangat penting
dalam membangun kebersamaan, keberlanjutan dan kesiapan masyarakat
mengantisipasi perubahan. Jaringan yang dibangun harus mengacu pada
optimalisasi program, dimana keterlibatan organisasi masyarakat, LSM,
pemerintah, dan institusi lain berjalan secara sinergis. Berikan peran
yang luas kepada masyarakat untuk dapat menjalin hubungan kemitraan
dengan pihak terkait. Tugas pengembangan jaringan bukan saja menjadi
tanggung jawab fasilitator melainkan masyarakat sendiri. Jaringan yang
dibangun oleh masyarakat sendiri akan lebih optimal dan memiliki nilai
strategis dalam proses pemberdayaan.
Sumber : http://kpmbwi.blogspot.com/2012/06/konsep-dasar-fasilitasi-masyarakat.html
No comments:
Post a Comment